Ayo Bergabung berkolaborasi !
Hari Guru Nasional - Pendidikan fondasi utama pembangunan bangsa
Pendidikan merupakan fondasi utama pembangunan bangsa. Sejak era modern, negara-negara yang menempatkan pendidikan sebagai pilar strategis terbukti mampu melahirkan inovasi, stabilitas politik, dan pertumbuhan ekonomi. Namun di Indonesia muncul narasi problematik yang populer: “Sekarang bukan lagi bicara adu ijazah, yang penting adu skill.” Pernyataan ini pernah disampaikan oleh seorang mantan presiden, figur yang seharusnya menjadi teladan dan penegak standar kualitas kepemimpinan.
Dian Ermawan
11/30/20254 min read
MAKALAH ILMIAH
“Mengapa Indonesia Mengalami Kemunduran? Analisis Dampak Narasi Anti-Pendidikan terhadap Tata Kelola dan Peradaban Bangsa”
(Oleh Dian Ermawan)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan merupakan fondasi utama pembangunan bangsa. Sejak era modern, negara-negara yang menempatkan pendidikan sebagai pilar strategis terbukti mampu melahirkan inovasi, stabilitas politik, dan pertumbuhan ekonomi. Namun di Indonesia muncul narasi problematik yang populer: “Sekarang bukan lagi bicara adu ijazah, yang penting adu skill.” Pernyataan ini disampaikan oleh seorang mantan presiden, figur yang seharusnya menjadi teladan dan penegak standar kualitas kepemimpinan.
Narasi tersebut secara tidak langsung menurunkan nilai strategis pendidikan formal. Padahal, ijazah bukan sekadar kertas, melainkan bukti proses pembelajaran, disiplin akademik, serta pembentukan karakter intelektual. Ketika pendidikan dikesampingkan, peradaban berpotensi mengalami kemunduran menuju pola pikir pra-modern, yaitu *kompetisi tanpa moral, otoritas tanpa keilmuan, dan kekuasaan tanpa akuntabilitas.*
1.2 Rumusan Masalah
1. Mengapa narasi "skill lebih penting daripada ijazah" dapat menjadi ancaman peradaban?
2. Bagaimana dampak rendahnya syarat pendidikan bagi pejabat publik?
3. Bagaimana hubungan antara pendidikan, etika, dan kualitas kebijakan publik?
4. Mengapa meritokrasi melemah dalam konteks politik Indonesia?
5. Apa implikasi sosial, politik, dan moral ketika pemimpin tidak berbasis keilmuan?
1.3 Tujuan Penelitian
Makalah ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis bahaya narasi anti-pendidikan dalam ruang publik.
2. Mendeskripsikan dampak rendahnya syarat pendidikan bagi pemimpin negara.
3. Mengkaji hubungan antara kapasitas intelektual dan kualitas kebijakan.
4. Menawarkan kritik ilmiah serta solusi sistemik bagi reformasi bangsa.
1.4 Manfaat Penelitian
Makalah ini diharapkan memberi kontribusi berupa:
- Pemahaman kritis bagi publik terhadap pentingnya pendidikan pemimpin.
- Bahan rujukan akademik untuk diskursus tentang meritokrasi.
- Dasar evaluasi kebijakan terkait syarat jabatan publik.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pendidikan dan Peradaban
Dalam teori sosiologi pendidikan (Durkheim, 1922), pendidikan merupakan alat reproduksi peradaban. Tanpa pendidikan yang kuat, masyarakat kehilangan orientasi moral dan rasionalitas.
2.2 Meritokrasi
Meritokrasi adalah sistem di mana jabatan diberikan berdasarkan kemampuan, bukan koneksi atau popularitas. Konsep ini menjadi tulang punggung negara maju seperti Jepang, Singapura, dan Korea Selatan.
2.3 Kepemimpinan Berbasis Ilmu
Teori kepemimpinan modern menyatakan bahwa legitimasi kepemimpinan terbangun dari:
1. Integrity
2. Intelligence
3. Competence
4. Ethical reasoning
Ketika salah satu unsur hilang (terutama intelektualitas), kebijakan menjadi bias, sempit, dan berisiko tinggi.
2.4 Narasi Populisme dan Anti-Intelektualisme Populisme sering menggunakan retorika “anti-elit” dan “anti-intelektual” untuk meraih simpati massa. Salah satu bentuknya adalah membandingkan skill dengan pendidikan formal secara tidak proporsional.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Bahaya Narasi “Skill Lebih Penting dari Ijazah”
Pernyataan ini problematik karena:
1. Menghapus nilai pendidikan formal
Pendidikan bukan sekadar teori, tetapi pembentukan pola pikir ilmiah.
2. Menyederhanakan kompetensi
Skill memang penting, tetapi skill tanpa fondasi intelektual menghasilkan perilaku impulsif.
3. Menyeret masyarakat ke pola pikir pra-peradaban
Hewan seperti monyet, harimau, gajah, dan kuda juga memiliki skill alami tanpa sekolah.
Jika standar kepemimpinan diturunkan sampai level *skill tanpa pendidikan*, maka proses peradaban mengalami regresi.
4. Melahirkan kelas pemimpin yang anti-ilmu
Pemimpin seperti ini berpotensi mengambil keputusan besar tanpa analisis memadai.
3.2 Ketimpangan Syarat Pendidikan Pejabat Publik
Indonesia memiliki anomali:
- Presiden cukup SMA
- DPR cukup SMA
- Birokrat harus S1–S3 untuk naik pangkat
- Rakyat yang dipimpin banyak bergelar sarjana, magister, doktor
Ini menunjukkan *ketidakseimbangan struktural* dan *ketidakseriusan* dalam menentukan standar kepemimpinan nasional.
3.3 Dampak Pemimpin Tanpa Basis Akademik
1. Kebijakan Tidak Berbasis Data
Kebijakan cenderung populis, reaktif, dan tidak melalui kajian mendalam.
2. Keruntuhan Etika Publik
Tanpa pendidikan formal, etika profesi tidak terbentuk.
3. Patronase Politik Menguat
Jabatan diberikan kepada relawan dan pendukung politik, bukan ahli.
4. Politik Anti-Dialog
Pemimpin tidak merasa perlu berdiskusi dengan pakar karena merasa “skill”-nya cukup.
5. Regulasi Berubah Semena-mena
Untuk memenuhi kepentingan kelompok tertentu.
3.4 Keterkaitan Pendidikan – Moralitas – Kebijakan
Pendidikan yang benar membentuk kemampuan berpikir kritis, empati, dan etika sosial. Ketika pemimpin tidak memiliki akar intelektual, kebijakan yang lahir tidak berpihak pada rakyat.
3.5 Kemunduran Peradaban: Gejala Neo-Jahiliah
Ciri-cirinya:
1. Adanya penguasa tanpa ilmu.
2. Kebijakan emosional, bukan rasional.
3. Kekuatan mengalahkan akal.
4. Meritokrasi digantikan loyalitas.
5. Jabatan menjadi hadiah, bukan tanggung jawab.
BAB IV
STUDI KASUS DAN ANALISIS
4.1 Contoh Negara Dengan Syarat Pemimpin Tinggi
1. Singapura : PM harus lulusan universitas top dunia.
2. Jepang : anggota parlemen rata-rata lulusan universitas nasional dan luar negeri.
3. Korea Selatan : hampir semua pejabat tinggi memiliki gelar S2–S3.
Kontras dengan Indonesia, di mana syarat minimal SMA menunjukkan *standardisasi rendah*.
4.2 Dampak Jika Narasi Anti-Ijazah Dibiarkan
- Penurunan kualitas birokrasi
- Korupsi meningkat
- Kebijakan tidak konsisten
- Hilangnya kepercayaan publik
- Politisasi pendidikan
- Bangsa jalan di tempat atau mundur
BAB V
SOLUSI DAN REKOMENDASI
5.1 Meningkatkan Syarat Pendidikan Pejabat Publik
Presiden, DPR, menteri dan pejabat tingkat nasional idealnya minimal S1 .
Untuk kementerian strategis, minimal S2 .
5.2 Reformasi Meritokrasi Nasional
- Seleksi pemimpin berbasis kompetensi
- Menghilangkan sistem bagi-bagi jabatan untuk relawan
- Memperkuat peran ahli dalam penyusunan kebijakan
5.3 Membangun Budaya Politik Berbasis Pengetahuan
Narasi anti-pendidikan harus dilawan melalui literasi politik, diskusi publik, dan edukasi massal.
5.4 Pendidikan Etika Kepemimpinan
Pendidikan tidak hanya akademik, tetapi juga moral dan integritas.
5.5 Meningkatkan Peran Perguruan Tinggi
Melibatkan pakar dalam proses legislasi, analisis kebijakan, dan konsultasi publik.
BAB VI
KESIMPULAN
Narasi “skill lebih penting dari ijazah” bukan sekadar keliru, tetapi berbahaya bagi peradaban. Narasi ini merendahkan nilai pendidikan, melemahkan meritokrasi, dan membuka ruang bagi kepemimpinan tanpa kapasitas intelektual. Kombinasi antara rendahnya syarat pendidikan pejabat publik dan menguatnya populisme anti-intelektual menyebabkan Indonesia terjebak dalam kemunduran struktural dan moral.
Pendidikan bukan sekadar kertas bernama ijazah—ia adalah bukti sebuah bangsa menghargai ilmu.
Ketika pendidikan diremehkan, maka bangsa bergerak mundur menuju *neo-jahiliah*, di mana kekuasaan mengalahkan akal, dan loyalitas lebih penting daripada kemanusiaan.
Bangsa ini harus kembali pada prinsip bahwa pemimpin adalah orang terbaik secara moral, intelektual, dan kompetensi, bukan sekadar yang “me
rasa punya skill”.
DAFTAR PUSTAKA
(Daftar pustaka dapat ditambahkan sesuai kebutuhan pengguna, seperti Durkheim, Lijphart, Fukuyama, Dahl, dsb.)
Kontak & Info
© 2025. All rights reserved.
WhatsApp Group
