KARYA TULIS ILMIAH

"Budaya Politik, Relasi Kekuasaan, dan Krisis Kepercayaan Publik dalam Pemerintahan Modern"

KARYA TULIS ILMIAH

Dian Ermawan

12/10/20253 min read

KARYA TULIS ILMIAH

Budaya Politik, Relasi Kekuasaan, dan Krisis Kepercayaan Publik dalam Pemerintahan Modern

ABSTRAK

Fenomena krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah semakin menguat dalam era demokrasi digital. Masyarakat menilai praktik pencitraan berlebihan, politisasi bantuan sosial, keberlanjutan relawan politik setelah pemilu, dan ketidakadilan penegakan hukum sebagai faktor yang memperlebar jarak antara rakyat dan pejabat publik. Karya tulis ilmiah ini menganalisis bagaimana praktik komunikasi politik, relasi kekuasaan, dan perilaku institusional memengaruhi polarisasi sosial dan persepsi ketidakadilan. Kajian ini juga menyoroti peran buzzer, cipta kondisi aparat, serta dampaknya terhadap iklim demokrasi. Pada akhirnya, tulisan ini menawarkan gagasan untuk membangun hubungan yang adil, transparan, dan harmonis antara pemerintah dan masyarakat, sesuai prinsip negara demokratis modern yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.

PENDAHULUAN

Dalam sistem demokrasi, legitimasi pemerintah bergantung pada kepercayaan rakyat. Namun, dalam beberapa tahun terakhir muncul berbagai kritik dalam wacana publik mengenai praktik komunikasi politik, penggunaan kekuasaan, serta proses penegakan hukum yang dianggap tidak mencerminkan asas keadilan. Kritik ini mencuat bukan sebagai isu individual, melainkan sebagai gejala struktural yang menandai melemahnya etika politik dan pergeseran orientasi pengabdian publik.

Tulisan ini membahas tujuh isu utama:

(1) pencitraan politik melalui bantuan sosial,

(2) keberadaan relawan politik pascapemilu,

(3) polarisasi sosial,

(4) buzzer sebagai alat tameng kekuasaan,

(5) ketidakadilan hukum,

(6) peran cipta kondisi dalam penanganan kasus, dan

(7) upaya membangun hubungan harmonis antara pejabat publik dan masyarakat.

TINJAUAN PUSTAKA

1. Teori Komunikasi Politik

Menurut McNair (2017), komunikasi politik menjadi alat legitimasi dan pengaruh. Namun, penyalahgunaan komunikasi politik dapat mengarah pada pencitraan semu dan manipulasi persepsi publik.

2. Patronase dan Relawan Politik

Slater (2020) menjelaskan bahwa relawan politik yang tetap eksis setelah pemilu dapat berubah menjadi jaringan patronase yang mempengaruhi kebijakan publik dan distribusi kekuasaan.

3. Teori Polarisasi Sosial

Iyengar & Krupenkin (2018) menyatakan bahwa polarisasi terjadi ketika identitas politik lebih dominan daripada rasionalitas publik, sehingga masyarakat terbelah dalam kubu emosional.

4. Kriminologi Kritis dan Ketidakadilan Penegakan Hukum

Teori “law as a tool of power” (Chambliss, 1976) menyebutkan bahwa hukum sering bekerja secara tidak simetris: keras kepada yang lemah, lunak kepada yang berkuasa.

5. Etika Pemerintahan Modern

Menurut prinsip OECD (2020), pemerintah yang baik harus transparan, akuntabel, dan mengutamakan pelayanan publik di atas kepentingan kelompok.

 PEMBAHASAN

1. Pencitraan Politik Melalui Bantuan Sosial

Dalam kondisi bencana atau program bantuan sosial rutin, anggaran negara seharusnya dikomunikasikan sebagai kebijakan institusi negara, bukan personalisasi pejabat tertentu. Praktik pencitraan semacam ini memunculkan persepsi bahwa bantuan adalah “hadiah” dari pemimpin, bukan hak warga negara.

Dampaknya: muncul rasa muak dan ketidakpercayaan publik terhadap ketulusan kebijakan pemerintah.

2. Relawan Politik yang Tetap Berpengaruh Setelah Pemilu

Relawan politik idealnya bubar setelah kontestasi selesai, sesuai prinsip netralitas pemerintahan. Ketika mereka tetap beroperasi dan mendapat jabatan strategis, muncul indikasi hubungan patronase. Ini menimbulkan prasangka bahwa kekuasaan diberikan bukan berdasarkan meritokrasi, tetapi balas jasa politik.

3. Polarisasi Sosial dan Keretakan Kehidupan Masyarakat

Pencitraan politik, politik identitas, dan penggunaan relawan sebagai alat komunikasi partisan memperdalam polarisasi. Masyarakat terbelah seakan hanya ada “pendukung pemerintah” dan “musuh pemerintah”.

Akibatnya: suasana publik menjadi tidak sehat, dialog demokratis melemah, dan rasa persatuan nasional terganggu.

4. Relawan sebagai Buzzer dan Tameng Antikritik

Dalam demokrasi sehat, kritik adalah instrumen pengawasan. Namun muncul fenomena buzzer yang menyerang pengkritik pemerintah, memelintir narasi, dan membangun kultus individu.

Perilaku “menjilat” berlebihan kepada pemimpin menurunkan kualitas demokrasi dan mengasingkan rakyat yang berbeda pendapat.

5. Ketidakadilan Penegakan Hukum: Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas

Banyak laporan menunjukkan bahwa masyarakat kecil sering menghadapi kriminalisasi dengan pasal berlapis, sementara pejabat negara yang bermasalah cenderung mendapat perlindungan.

Fenomena ini mempertegas adanya bias struktural dalam sistem hukum.

Konsekuensinya: rakyat merasa hukum bukan alat keadilan, tetapi alat kekuasaan.

6. Cipta Kondisi dalam Penanganan Kasus

Istilah cipta kondisi menggambarkan upaya aparat untuk membentuk persepsi publik melalui operasi penegakan hukum yang bersifat politis.

Ketika kasus tertentu diberi sorotan berlebihan untuk menjaga citra pejabat, sementara kasus penting lain diredam, keadilan menjadi kabur.

Hal ini mengikis integritas lembaga hukum dan menumbuhkan sinisme masyarakat.

### 7. Membangun Hubungan Adil dan Harmonis antara Pemerintah dan Rakyat

Hubungan negara–rakyat semestinya didasarkan pada asas pelayanan, bukan penguasaan. Pemerintah harus hadir sebagai pelayan publik (*public servant*) yang transparan, adil, dan akuntabel.

Upaya membangun hubungan ini meliputi:

1. Netralitas negara dari politik pencitraan.

2. Penegakan hukum yang setara tanpa memandang status sosial.

3. Pembubaran relawan politik setelah pemilu untuk menjaga integritas birokrasi.

4. Transparansi anggaran dan pelibatan masyarakat dalam evaluasi kebijakan.

5. Edukasi politik publik untuk memperkuat literasi demokrasi.

6. Penguatan institusi pengawas agar tidak tunduk pada kekuasaan eksekutif.

7. Penyediaan kanal kritik resmi yang tidak menimbulkan ancaman kriminalisasi.

Dengan langkah-langkah tersebut, hubungan pemerintah dan masyarakat dapat pulih secara struktural maupun psikologis.

KESIMPULAN

Fenomena pencitraan politik, patronase relawan, polarisasi sosial, penggunaan buzzer, ketidakadilan hukum, dan praktik cipta kondisi merupakan gejala bahwa demokrasi masih terjebak dalam logika personalisasi kekuasaan. Situasi ini memperdalam ketidakpercayaan publik dan berpotensi melemahkan tata kelola pemerintahan.

Untuk membangun demokrasi yang sehat, pemerintah perlu mengembalikan orientasi kekuasaan kepada kepentingan publik, meningkatkan integritas institusi hukum, serta menghapus praktik-praktik komunikasi politik yang manipulatif. Hubungan harmonis antara pejabat publik dan masyarakat hanya dapat tercipta apabila pemerintah menempatkan rakyat sebagai subjek utama, bukan sekadar objek pencitraan.

REKOMENDASI KEBIJAKAN

1. Reformasi komunikasi publik pemerintah agar tidak berorientasi personal.

2. Regulasi pembubaran relawan politik setelah pemilu demi menjaga objektivitas pemerintahan.

3. Penegakan hukum tanpa pandang bulu melalui penguatan lembaga independen.

4. Pengawasan anggaran bantuan sosial untuk mencegah politisasi.

5. Pembatasan aktivitas buzzer politik dalam ruang digital dengan regulasi literasi digital.

6. Membangun ruang dialog publik yang aman bagi kritik.

7. Pendidikan politik berkelanjutan untuk mengurangi polarisasi dan meningkatkan kesadaran warga.